Akhir pekan yang lalu rangkaian mini workshop
walking-in-ngalam dengan tema ENVIRONMENTAL PORTRAIT telah dimulai. Dengan briefing awal pada hari
Jumat, peserta telah dipersiapkan dan dibekali beberapa materi untuk siap turun
ke pasar tradisional Sabtu besoknya. Ini adalah sesi pertemuan pertama dari beberapa pertemuan mini workshop ini dengan 13 peserta. Dibantu oleh Muhammad Iqbal sebagai pendamping dan asisten mentor, rangkaian mini workshop akhirnya dapat dilangsungkan.
Foto oleh Rizki Dwi Putra |
Mengapa pasar tradisional? Ichwan susanto
(Boljug) menjelaskan bahwa pasar adalah ‘medan’ serba komplit, banyak variasi
tantangan teknis dan non-teknis yang akan dihadapi. Memotret di pasar dapat
melatih para peserta untuk lebih dekat dengan subyek, sebagai latihan awal mengenal
ruang publik lebih dekat. Dengan atmosfernya yang khas, Pasar,
terutama yang tradisional adalah
gudang interaksi, baik antara penjual dan pembeli, juga gudang emosi, karakter. Keterlibatan fotografer di dalamnya merupakan tujuan eksplorasi para peserta
dalam rangkaian pertama workshop ini.
Briefing di Hari Jumat, 20 Maret oleh Ichwan Susanto (Boljug) |
Pasar Pakis, Malang
menjadi penjajakan awal
bagi para peserta workshop. Secara garis besar, peserta
dibebaskan untuk memotret apa yang mereka sukai yang berada di pasar ini. Masih ada beberapa permasalahan yang
muncul pada peserta, salah satunya adalah ‘jetlag’. Beberapa peserta masih
belum terbiasa, merasa canggung dengan keramaian dan tidak bisa berkomunikasi
dengan lancar sehingga menghalangi interaksi dan kedekatan dengan subyeknya. Lalu
ada juga yang mati gaya; ramainya pasar membuat sebagian peserta grogi, belum
lagi beberapa penghuni pasar yang ‘usil’ terhadap peserta (secara verbal maupun
non verbal) membuat peserta kurang enjoy ataupun kurang percaya diri untuk
berinteraksi dengan lingkungan. Mereka
lebih cenderung motret benda mati (barang dagangan) ataupun motret aktifitas
pasar secara candid. Selain itu ada beberapa peserta yang sudah merasa terbiasa
dan langsung dapat menyatu dengan suasana pasar. Contohnya Rizki, Mumun, dan
Prayudi Utomo yang sudah mampu beradaptasi dengan suasana pasar dan bahkan
melakukan komunikasi dengan subyek secara bagus. Meski demikian masih kurang
percaya diri ketika melakukan eksekusi sehingga berpengaruh terhadap teknis
pemotretan ataupun kurang sabar dalam menunggu moment puncak. Eksplorasi lebih lanjut dari para peserta
tersebut pastinya akan menghasilkan hasil yang lebih dahsyat.
Peseta memotret salah satu subyek di dalam Pasar |
Peserta memotret dan berinteraksi dengan kucing, 'penghuni' khas pasar tradisional |
Foto oleh Prayudi Utomo |
Dalam rangkaian workshop awal ini para peserta sudah menunjukkan usaha, semangat, dan dedikasi yang perlu diacungi jempol. Rangkaian workshop selanjutnya akan lebih mengeksplorasi dan mengevaluasi secara lebih dalam tentang berkomunikasi dan mengatasi ‘jarak’ antara fotografer dan subyek, juga ditambahkan tentang beberapa permasalahan dan kendala teknis pemotretan yang perlu diantisipasi oleh peserta, tidak lupa ditambahkan tentang etika memotret di ruang publik, tentang bagaimana hak dan kewajiban, agar supaya masing-masing dari fotografer dan penduduk pasar dapat saling berhubungangan dengan baik. Bisa jadi setelah beberapa pertemuan rangkaian mini workshop ini serta output final dari para peserta sudah selesai, bisa jadi materi akan berganti haluan menuju dokumentasi ruang publik yang lebih luas lagi. Good Luck!
Sampai jumpa di akhir pekan depan!
teks: boljug, MI, furqan
teks: boljug, MI, furqan