Friday, 5 April 2013

Why Street Photography?

Tak pernah ada sebuah kejelasan bagaimana street photography muncul dan lalu populer. Yang pasti kemunculan dan lahirnya diawali dengan semakin berkembangnya fotografi praktis. Sejak saat itu praktek fotografi mulai dihiasi oleh foto-foto iseng dan dokumentasi ruang publik, didukung dengan semakin available-nya praktek fotografi hingga sekarang ini. 
Namun dengan semakin available-nya fotografi apakah kemudian memberikan sebuah perkembangan yang signifikan dalam praktek-prakteknya? Availability tersebut tentunya memberikan kemudahan, dan semakin mudah anda mendapatkan sesuatu maka semakin mudah pula anda melepasnya. Di era fotografi digital tak perlu lagi mencintai frame dengan sepenuh hati, dengan fitur ‘jepret-hapus’ kita bisa trial-error sepuasnya.

Saya berfikir bahwa kemudian perlu dimunculkan sebuah agama baru, dimana pengikutnya menganut kepercayaan bahwa ketika ijab-qobul jual-beli kamera dilakukan, sepaket dengan kamera tersebut tersirat sebuah janji mutlak bahwa “saya bertanggung jawab atas apa yang dihasilkan oleh kamera ini”. Mengutip dari film Spiderman “from big power comes big responsibility”, bahwa dengan kekuatan finansial anda telah membeli sebuah kekuatan untuk menghentikan waktu, dan anda bertanggung jawab atas kekuatan itu baik terhadap diri sendiri ataupun publik. 
Sebagai mahluk gaul yang suka kumpul, kita banyak menghabiskan waktu-waktunya di ruang publik, untuk menunggu, bosan, stress, lalu marah marah. Sebenarnya ada alternatif lain yang tidak jauh berbeda secara teknis, namun lebih asik untuk jiwa raga dan bathin yaitu; menunggu, jelalatan, berjalan, momotret dengan kamera seadanya, waktu pun berlalu, dan senang tanpa alasan pasti.
Dalam proses ibadah menyegarkan mata dan raga tersebut, bayangkan sebuah takdir, sebuah bonus, yaitu sebuah foto yang ciamik sebagai transformasi positif dari kegiatan menunggu dan bosan. Belum lagi kita akan berpartisipasi dalam kegiatan mencatat sebuah perubahan jaman. Dari foto-foto iseng tersebut lahirlah sebuah runtutan perubahan seiring waktu. Kegiatan fotografi yang anda anggap iseng ini akan menjadi obat stress yang menarik di masa kini, juga nostalgia yang indah di masa mendatang. Mungkin bagi sebagian orang memotret ruang publik tidak begitu menarik, namun selain yang saya tawarkan diatas, sebagai mahluk sosial apakah anda tak ingin berhenti sejenak dari rasa bosan dan stress, lalu berjalan dan memotret, menyapa orang asing, atau kalau beruntung kita bisa menyapa kawan, atau bahkan ubahlah orang asing menjadi kawan.
“I have a responsibility as a documentary photographer; to photograph the time that we live in, what the world is about now, and my job is to capture what’s going on. And if I get a great photo, well … that’s a bonus.” -- Martin Parr

Sejauh ini, yang saya tahu para pelopor terdahulu ndak melulu concern pada street photography. Kebanyakan mereka mempunyai profesi lain contohnya sebagai fotojurnalis atau fotografer dokumenter. Jika boleh menebak, mereka melakukan street fotografi sebagai obat stress dari rutinitas dan pekerjaan, ataupun rasa syukur karena masih hidup dan selamat setelah bertugas di medan perang/konflik berbahaya. Boleh jadi sesuai dengan yang dijelaskan oleh Rizky Ramadhan dalam sebuah pengantar street photography yang saya baca di sebuah majalah photography local di solo, face me! Zine bahwa street photographylahir dari fotojurnalistik, namun lebih bermain-main tentang perekaman kenyataan. Baca artikel lengkapnya disini

Setidaknya sebagai seorang yang pernah menghabiskan waktu di ruang publik tanpa memotret saya sering terngiang oleh ungkapan yang saya dengar dari Mas Boljug dan Om Ben, street photographer lawas dari Malang yang mengenalkan saya dengan street photography. Mereka menegaskan metode “empat sehat lima sempurna” Kita jalan untuk olahraga, nyemil, silaturahmi, dan kumpul (empat sehat), dan sungguh beruntunglah mendapat foto bagus (lima sempurna). Tak jauh beda dengan ungkapan dari Martin Parr my job is to capture what’s going on. And if I get a great photo, well … that’s a bonus” bahwa street photography pada intinya adalah kegiatan yang bersahaja dengan ‘bonus-bonus’ yang indah. 

Bukan hanya sekedar foto bagus, namun bagi saya street photography bukanlah semata-mata tentang memotret, namun lebih tentang attitude dan bagaimana kita menikmati proses berjalan. Kegiatan memotret akan berkembang dengan sendirinya seiring waktu, namun tanpa sikap dan perilaku kita akan benar-benar tersesat dalam medan perburuan foto bagus. Kita hanya menjadi fotografer berdarah dingin yang mengesampingkan kegiatan berjalan kaki. Selayaknya street photography memberikan vitamin hati, jiwa, dan raga. Me-metamorfosiskan diri kita menjadi pribadi yang bersahaja dengan bumbu rasa syukur atas limpahan kesehatan, syukur karena bisa berada pada tempat, jaman, dan waktu ini, dan syukur dua kali lipat utk bonus-bonusnya. 


Arif Furqan